Rabu, 28 September 2016

Manakib



JANGAN BOSAN MANAQIB
Oleh : KH. M. Zein ZA. Bazul Asyhab
Hidmah ilmiah manakib di Masjid Nurul Asror PonTren Suryalaya April 2003
Manaqiban adalah perpaduan antara Bahasa Arab dengan Bahasa Indonesia. Asalnya dari Manaqib ditambah akhiran an. Manaqib adalah Jama Taksir dari Manqob (masdar mimi, isim makan dan isim zaman). Akar katanya dari Naqbun yang artinya jalan dilereng gunung.
Adapun maksud dari Manaqib adalah pembacaan riwayat hidup, baik ataupun jelek. Banyak orang yang tidak suka terhadap manaqib, tetapi selalu membaca riwayat para Wali. Padahal riwayat para Wali itu juga manaqib. Ibarat orang yang suka Sangu (nasi) tetapi mengharamkan Kejo (nasi). Atau ibarat “Monyet ngagugulung kalapa”(monyet mendekap-dekap kelapa).

Manaqib adalah majmaul-khoir atau tempat berkumpulnya segala kebaikan, diantaranya :
• Silaturahmi, para ikhwan bisa bersilaturahmi dengan ikhwan lain yang berlainan daerah
• Pembacaan ayat suci Al-Qur’an, yang merupakan ibadah baik kepada pembacanya ataupun pendengarnya.
• Pembacaan Tanbih, dimana-mana ada manaqib selalu dibaca Tanbih, baik manaqib di PP Suryalaya, di Jakarta, Singapura, Malaysia dan lainnya.


Ini diibaratkan kita masuk restoran atau warteg, yang pertama ditanya, “Ada nasi?” Mengapa? Karena nasi itu kesukaan, sehingga walaupun sudah makan bubur atau 6 potong lontong, belum dikatakan makan sebelum makan nasi.
Apakah kita mengamalkan Tanbih? Jawabannya, “Kita belum mampu mengamalkan isi Tanbih. Kita baru mampu setiap dibacakan Tanbih hanya mencucurkan air mata”. Seseorang yang sudah mengamalkan Tanbih disebut Muntabih, yaitu orang yang selalu memakai peringatan-peringatan. Kita belum mampu mengamalkannya, dengan sungguh-sungguh, akan tetapi berusaha untuk itu.
Karena seseorang kalau sudah mampu mengamalkan Tanbih, Insya Allah orang itu menjadi Wali. Jadi selama belum menjadi Wali, terus menerus Tanbih tersebut dibaca. Bahkan seseorang yang sudah sampai menjadi Wali-pun tidak mungkin dirinya mengaku Wali. Maka jangan bosan untuk terus menerus membaca Tanbih.

Ibarat ingin pergi dari Jakarta ke Surabaya naik kereta api, karena tidak mempunyai karcis, karena tidak mempunyai uang. Lalu masuklah ke gerbong yang berisi arang dan kambing secara gratis. Ketika sampai di Surabaya, para penumpang eksekutif disambut petugas dengan senyuman dan dipersilahkan memasuki ruangan istirahat serta disediakan makanan. Sebaliknya kita yang gratis naik dengan kambing, kepala benjol-benjol penuh arang malah begitu sampai diburu polisi karena tidak mempunyai karcis. Tetapi walaupun benjol dan hitam, masih beruntung sudah sampai di tempat tujuan yaitu Kota Surabaya.
Seperti itulah perjalanan kita. Para solihin disambut bidadari, malah kita dimarahi para malaikat. Karena bersama para solihin kita terbawa masuk surga. Kita belajar dzikir kepada Pangersa itu agar sampai. Karena kalau ingin sampai tanpa karcis, maka kita harus meminta Talqin.

Kita bergabung dengan mereka, sambil robithoh dan dzikir, sehingga nilai-nilai Tanbih bisa masuk ke dalam diri kita. Sehingga kita menjadi orang Muntabih. Mengapa lebih mengagungkan Tanbih dari pada Al-Qur’an? Karena nilai-nilai yang terkandung dalam Tanbih itu semuanya dari Al-Qur’an. Sejak do’a, jangan ada perpecahan, menghormati orang yang diatas kita dan menyayangi orang yang dibawah kita, dan lainnya semuanya sama dengan nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an.
Dilanjutkan kepada Tawassul. Tawassul ini bukan pekerjaan ringan dan jangan dianggap remeh. Tawassul sangat erat kaitannya dengan robithoh. Karena orang seperti kita tidak layak bergabung di lingkungan Allah bersama para Nabi, Rasul dan Auliya. Sholat kita masih sering ketinggalan dan sering tidak khusyu, malah hatinya kesana kemari.

Kalau hanya ingin disebut muslim yang baik di mata manusia adalah mudah, asal jangan berbuat jahat saja dikatakan baik. Akan tetapi ukuran baik menurut Allah bukan sekedar tidak berbuat jahat, tetapi yang dikatakan baik itu harus wushul (sampai) kepada Allah.
Di lingkungan bukan Tarekat tidak dikenal kalimat wushul. Wushul atau sampai ini terkait dengan kembali. Kembali kepada Allah berarti mati. Kita dari Allah dan harus kembali lagi kepada Allah. Orang disebut mati kalau mati, kenyataannya banyak orang mati tetapi tidak kembali kepada Allah, malah masuk ke Jahannam. Kapan kita harus kembali? Sejak sekarang juga kita harus kembali.

Allah itu dekat, bahkan lebih dekat dari urat leher. Dekat-jauhnya Allah tidak diukur jarak, karena bukan benda. Rumusnya sesungguhnya Allah itu dekat dengan kita, hanya saja kita yang jauh dari Allah. Karena kalau Allah itu jauh dari kita, sudah tentu mata kita pun tidak mampu dikedipkan oleh kita. Cakupan Allah itu sangat luas, ini perlu diluruskan. Maksudnya bahwa Allah itu tidak berarti di atas, atau dibawah atau ditempat yang memerlukan uang.
Agar kita kembali kepada Allah, maka kita harus melakukan perjalanan ruhani menembus 4 lapis alam. Bagaimana caranya? Yaitu dengan cara menembus diri sendiri. Manakala seseorang mampu menembus diri sendiri ke luar dari jasmaniahnya dalam beribadah, maka orang itu berada di etafet pertama. Terus berusaha menembus hatinya (alam malaikat), berarti dia berada di etafet kedua. Terus berusaha menembus alam Jabarut, lalu ke sirri yang berarti dia menembus Alam Lahut. Barulah kalau sudah menembus Alam Lahut ini, dia sampai (wushul) kepada Allah.
Insya Allah, kalau terus menerus berdzikir kepada Allah dan mengamalkan Tanbih yang dibimbing oleh seorang Guru Mursyid kami, dengan ilmu yang benar akan wushul kepada Allah. Amiin.
Sumber :www.suryalaya.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar