oleh: Prof. DR. Nur Syam
Beberapa waktu lalu, saya dilibatkan untuk menjadi
narasumber di dalam diskusi nasional tentang Tasawuf yang dilaksanakan oleh
PBNU dalam kerangka Harlah NU ke 89. Ada tiga lokasi yang dijadikan sebagai
tempat untuk menyelenggarakan diskusi nasional, yaitu Bandung, Semarang dan
Surabaya. Acara di Semarang (19 Juni 2011) mengusung tema “Deradikalisasi
Menurut Islam Ahl’ Sunnah waljamaah: Perspektif NU”, kemudian di Bandung (26
Juni 2011) dengan tema “Kembali ke Pesantren, Kembali ke Cita-cita Luhur
Bangsa”, dan kemudian di Surabaya (02 Juli 2011) dengan mengusung tema:
“Revitalisasi Sufi untuk Perdamaian Dunia”. Acara ini diselenggarakan di Hotel
Prime Royal, Surabaya.
Acara ini dihadiri oleh para mursyid tarekat dan juga
aktivis dan pengurus NU se-Jawa Timur. Sebagai nara sumber selain saya adalah
KH. Dr. Mustafa Mas’ud, KH. Dr. M. Luqman Hakim, yang keduanya adalah
pengasuh pesantren dan guru tarekat Sufi.
Sebagai nara sumber, maka saya jelaskan beberapa hal
yang terkait dengan revitalisasi tasawuf di dalam menggerakkan perdamaian
dunia. Saya kemukakan beberapa pertanyaan terkait dengan peran tarekat di dalam
membangun peradaban dunia yang dimaksud.
Pertama, apakah tasawuf memiliki peran di dalam
membangun perdamaian dunia? Terhadap pertanyaan ini, maka bisa dijawab
melalui tiga kenyataan empiris bahwa secara teologis dan ideologis bahwa tidak
ada ajaran tarekat atau tasawuf yang tidak mengembangkan prinsip Islam sebagai
rahmatan lil alamin. Prinsip ketauhidan di dalam ajaran tarekat adalah
membangun prinsip ketauhidan dengan menekankan pada prinsip dzikir “tidak ada
Tuhan Selain Allah”, Lailaha Illallah, baik dalam konteks dzikir nafi itsbat
maupum dzikir lainnya. Melalui prinsip teologis dan ideologis yang berada di
dalam konteks wa ma arsalnaka illa rahmatan lil alamin tersebut, maka kita
berkeyakinan bahwa tasawuf akan bisa dijadikan sebagai instrumen bagi
perdamaian dunia. Prinsip doktriner bahwa Islam adalah agama rahmat tentu akan
mengajarkan tentang keselamatan, keharmonisan dan kerukunan. Melalui prinsip
Islam rahmatan lil alamin yang diterjemahkan sebagai pengembangan prinsip
kerukunan, keharmonisan dan keselamatan maka dapat dipastikan bahwa ajaran
tasawuf akan dapat menjadi pilar penting bagi proses membangun peradanan dunia
berbasis pada perdamaian.
Kedua, ajaran tasawuf memiliki nilai etika yang luar
biasa di dalam kehidupan dunia. Ajaran etika di dalam tarekat
sesungguhnya memiliki kekuatan yang luar biasa sebagai pembentuk tindakan yang
baik. Tasawuf sebagai proses tazkiyatun nafs tentu akan mengarahkan penganutnya
pada sidqul qalbi, sidqul qaul dan sidqul amal. Melalui kejujuran
hati maka akan didapati ketiadaan kebohongan hati baik kepada sesame manusia
maupun kepada Allah. Melalui kejujuran perkataan maka apa yang diucapkan akan
selalu disesuaikan dengan apa yang dialami dan dilakukan dan melalui kejujuran
tindakan, maka juga akan didapati kesesuaian dengan apa yang dilakukan dengan
kenyataan riil tindakannya tersebut. Melalui ajaran tasawuf, maka sesungguhnya
akan didapati sebuah system mekanik di dalam kehidupan manusia yang akan
bisa menjadi pattern for behavior bagi kehidupannya.
Di sisi lain, tarekat adalah sebagai medium bagi
pendidikan karakter. Tidak ada ajaran yang sesolid tarekat di dalam mengajarkan
pendidikan karakter. Saya menjadi teringat kepada suatu peristiwa yang
diceritakan oleh Rektor Universitas Satya Wacana beberapa saat yang lalu.
Suatu kesempatan bahwa ada pertemuan mahasiswa di Thailand. Sebagai
peserta pertemuan ini, maka ada mahasiswa Jepang, Korea, Thailand, Malaysia,
Singapura, Indonesia dan sebagainya. Dari seluruh mahasiswa yang hadir
maka diberikan session khusus untuk membicarakan perencanaan kegiatan khusus
untuk mereka sendiri. Akhirnya diputuskan untuk melakukan kunjungan ke
universitas. Yang menarik, bahwa mahasiswa Jepang meminta izin dan pamit kepada
dosen-dosennya, akan tetapi tidak satupun mahasiswa Indonesia yang
melakukannya. Maka lalu memunculkan pertanyaan, siapa yang sesungguhnya
lebih religious, apakah mahasiswa Indonesia ataukah mahasiswa Jepang.
Kemudian juga sebuah peristiwa dalam upacara Gerakan
Anti Korupsi yang dilakukan di Kantor Grahadi. Dari sebanyak 20 orang anak yang
diminta untuk menyerakan stiker Gerakan Anti Korupsi, maka hanya ada satu anak
perempuan yang melakukan salaman dengan orang tua sambil mencium tangan orang
tua-tua atau pejabat-pejabat itu. Maka ada suatu kenyataan membentang bahwa
ternyata yang melakukan tindakan bersalaman sambil mencium tangan yang
lebih tua hanya sedikit. Sambil bergurau saya nyatakan, bahwa yang bersamalan
dan mencium tangan orang tua dipastikan anaknya orang NU.
Di sisi lainnya, para santri juga bisa menjadi bagian
dari kenyataan empiris bahwa pendidikan karakter ternyata penting. Jika kita
berkunjung ke pesantren, maka akan didapati bagaimana para santri itu
menghormat kepada yang lebih tua. Jika mereka duduk di pinggir jalan, maka
ketika ada yang lebih tua lewat maka para santri berdiri untuk menghormat
kepada yang lewat tersebut. Makanya di dunia pesantren tidak didapati
demonstrasi, sebab mereka menyadari betul akan pentingnya keridlaan ilmu bagi
mereka. Jika kyainya merestui ilmunya, maka mereka akan memperoleh manfaat akan
ilmunya tersebut. Hal ini lain dengan mereka yang sudah memasuki dunia
perguruan tinggi, maka demonstrasi dianggap sebagai bagian dari proses untuk
mencapai tujuan, sehingga di dunia perguruan tinggi banyak dijumpai gerakan
demonstrasi mahasiswa.
Pendidikan karakter hakikatnya adalah pendidikan
hati. Dewasa ini banyak proses pembelajaran yang tidak menggunakan hati nurani.
Pembelajaran lebih mengarah kepada pendidikan intelektual saja sehingga tidak
sampai kepada pembentukan karakter manusia.
Ketiga, apakah tarekat akan bisa menjadi gerakan
social. Berdasarkan telisikan yang dilakukan oleh Sartono Kartodirdjo,
ketika melihat Pemberontakan Petani Banten 1888, maka didapati bahwa penganut
tarekat ternyata menjadi kekuatan inti di dalam pemberontakan petani dimaksud.
Bukan pemberontakannya yang menjadi catatan penting akan tetapi adalah semangat
keagamaan yang mendasari keberaniannya untuk melawan penjajahan Belanda.
Semangat kemerdekaan yang dijiwai oleh ajaran tasawuf inilah yang seharusnya
dibaca sebagai bagian penting di dalam gerakan terakat. Ada semangat perlawanan
yang dijiwai oleh semangat keagamaan.
Selain itu adalah Perang Diponegoro. Sebagaimana hasil
telisik yang dilakukan oleh Karel Steenbrink, maka di dalam Perang Diponegoro
ternyata banyak dijumpai indikasi keterlibatan penganut tarekat. Ada banyak hal
yang mengingatkan akan adanya amalan penganut tarekat. Kyai Mojo adalah
penganut tarekat demikian pula Pangeran Diponegoro. Makanya jika di dalam
perang Diponegoro tersebut banyak dijumpai indikasi keterlibatan penganut
tarekat maka tentu bukan hal yang mustahil.
Kemudian juga semakin banyaknya eksekutif muda yang
mengamalkan tarekat secara non struktural. Mereka mengamalkan tarekat yang
dianggap televan dan cocok dengan kehidupannya. Ketika mereka terkena
macet di jalan, maka yang dilafalkan adalah Allahumma yassir wa tu’assir. Jadi
bukan melafalkan lagu-lagu akan tetapi membaca wirid yang diyakini bisa
mengantarkannya kepada kemudahan. Bahkan banyak dijumpai mereka menghidupan
video atau apapun yang berisi tentang wirid atau dzikir ketarekatan.
Hal di atas memberikan gambaran tentang bagaimana
tarekat telah memasuki kehidupan masyarakat, tidak saja kaum awam akan tetapi
juga kaum elit bahkan para pengusaha muda. Jadi, tarekat telah menjadi fenomena
yang khusus bagi masyarakat Indonesia dan sesungguhnya telah menjadi gerakan
yang berjalan ke depan sesuai dengan karakter yang dimiliki oleh tarekat yang
rahmatan lil alamin.
Oleh karena itu, menurut saya bahwa melalui kenyataan
teroretis dan empiris sebagaimana saya paparkan di atas, ternyata tasawuf bisa
menjadi instrument bagi pengembangan perdamaian dunia yang didasari oleh
semangat keagamaan esoterik yang menjanjikan.Wallahu a’lam bi al shawab.
Sumber: http://sufinews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar